SalajaKata
Ketika dunia tuli akan suaramu, jatuhkan kata di atas kertas. Menulislah..!!!!
.
Rabu, 04 November 2015
Minggu, 07 Juni 2015
Segores Lirik Yang Menyatu
Mungkin akan ada baiknya jika kau
mencoba mencintai dengan hati, bukan dengan mata. Sebab mata tak pernah mampu
menyimpan cinta ketika ia terlelap…..
Petang
lalu, disudut keramahanmu, mengalun sebait tanda tak mampu terjawab. “Jika aku
adalah waktu, di sibukmu yang mana kau menyimpan ingatku?”.
“Sebab
makna tak selalu terbisikkan, mulailah mengeja–ngeja apa yang mampu kau tangkap.
Sebab kata tak perlu selalu diucap, mulailah menebak-nebak apa yang terangkum
dalam bathinmu”. Itu katamu, sewaktu kita bertelanjang kaki ditengah rimbunya
ilalang menguning pada Desember lalu.
Mengeja,
menebak, memaknai, meresapi, menjaga…. Itu hakikat rasa, katamu. Lalu, adakah
bila segalanya membalik membentuk pola lain, kau mampu menyusunnya kembali menjadi
sebuah mozaik indah?
“Hmmm,
selalu. Kata memang tak pernah kehabisan huruf dalam mengurai tanya”.
Setelah
detik berlalu, tanya pun menuai jawabnya. “Kita, manusia baru. Dilahirkan untuk
bersama, menggenapkan rasa pun berbagi bahu.
Sebab
jawab tak sekedar lisan,
Sebab
cinta tak sekedar mata,
Sebab
hidup tak sekedar harapan,
Maka
maknailah segala apa yang ada dengan
segala kerendahan dan keramahan hatimu.
Rasa
tidak hanya tentang tanya yang terjawab….
Cinta
tidak hanya tentang mata memandang….
Hidup
tidak hanya tentang apa yang kita kejar…
Lalu,
jadikan hati sebagai tameng dalam segalamu memulai.
Rabu, 03 Juni 2015
SUATU KETIKA (Sebuah Renungan)
Jika hari ini engkau ditakdirkan tiada, seperti apa engkau ingin dikenang?
Suatu ketika, ketika tubuh saya
terbujur kaku di atas pembaringan, para sanak, keluarga, tetangga dan
orang-orang sekitar mendatangi saya. Mereka bertanya pada orang-orang yang saya
tinggalkan. “ di mana ia?”. “dia sudah tiada dan telah pergi”. Lantas, mereka
pun menangisi jasad yang terbujur kaku
itu.
Manusia hanya pengendara di atas
punggung usianya. Digulung hari, bulan dan tahun tanpa terasa . Nafas pun terus
berhembus, setia menuntun kita ke pintu kematian. Sebenarnya dunialah yang kita
jauhi dan liang kubur yang kita dekati. Satu hari berlalu, berarti satu hari
berkurang umur kita. Umur kita yang tersisa hari ini sungguh tidak ternilai
harganya, sebab esok hari belum tentu jadi bagian dari diri kita. Karena itu,
jika satu hari berlalu tapi tiada pahala dan keyakinan kita bertambah, apalah
arti hidup kita?
Seandainya
kematian itu adalah akhir dari segalanya dan kita ditinggalkan begitu saja, maka
kematian adalah tempat peristirahatan terindah bagi setiap yang hidup. Namun
tidaklah demikian, karena kematian adalah awal dari kehidupan yang tidak
berujung dan kita akan ditanya tentang segala sesuatu, sungguh penyesalan
karena tidak bisa lagi mengerjakan amal sholeh jauh lebih menyakitkan daripada kematian
itu sendiri.
Ajal
kita adalah nafas yang dihitung.
Peristiwa
dunia datang dan pergi silih berganti.
Di
mana orang –orang dulu yang pernah kita lihat?
Kini
mereka telah mati dan kita pasti mati setelah mereka.
Bagaimana
aku ini…..
Kematian
seakan sudah dihamparkan dihadapanku
Tapi
aku masih sibuk memanjangkan angan-angan.
Kelalaianku dalam hari-hariku
adalah kejelekan-kejelekanku yang akan dibungkus dalam kafan di liang kuburku.
Aku
telah menyia-nyiakan sesuatu yang seharusnya aku kerjakan
(Syair Ali Shalih
Al-Hazza)
Gema
adzan seseorang dikumandangkan ketika si kecil lahir, dan shalat diakhirkan
sampai ia mati. Ini menunjukkan bahwa hidupnya hanya sebentar, sebagaimana
waktu antara adzan dan shalat. (Anonim)
Sabtu, 11 April 2015
Identitas (Sebuah Hasil Tawar Menawar)
“Setiap orang ingin menemukan suatu fragmen
kehidupan yang hilang atau yang ingin menemukan suara-suara sayup yang tak
terdengar, maka kisah kehidupan pribadi seseorang adalah sumber yang harus
digali” ((Ronald P Loftus, 2004).
Berangkat
dari perkataan Ronald P Loftus, saya agaknya menemukan ide untuk memulai awal pengetikan kali ini.
Saat seseorang berkata “aku” atau “saya”, pada saat itulah mereka tidak saja
menggambarkan diri mereka, namun juga mempunyai kesempatan untuk membentuk dan
merekonstruksi diri mereka.
Sebelum
seseorang menorehkan “saya” dan menggambarkan tentang “saya” ini, ada berbagai
presepsi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengakar. Karena
itulah, sebuah identitas terkadang adalah hasil dari tawar menawar antara
bermacam suara pribadi, sosial dan ideologi.
Ekspresi
seseorang terkadang adalah sebuah orkestrasi dari bermacam bunyi yang tidak
selalu berada dalam harmoni, namun juga bertentangan dan berlomba-lomba untuk
dapat dijadikan sebagai “identitas pribadi”. Seseorang yang menulis tentang
dirinya, tentu tidak luput dari segala ideologi di sekitar mereka.
Namun,
adalah naïf bila kita memercayai bahwa
tulisan kehidupan seseorang mencerminkan pribadi dan pikiran mereka, tanpa
memperhatikan ideologi-ideologi di sekitarnya. Ideologi yang bisa dengan mudah
memanipulasi tulisan mereka. Terkadang apa yang dituliskan oleh seseorang belum
tentu sama dengan apa yang dipercayai olehnya, karena adanya “ancaman” dari
sosial dan dirinya sendiri.
Maka
tidak heran jika Eugene O’Neill mengatakan “ hidup seseorang di luar sana,
lewat dalam kesepian dihantui oleh topeng-topeng manusia lain, hidup pribadinya
lewat dalam keheningan dihantui oleh topeng diri sendiri”
Karenanya,
ketika seseorang menulis sesuatu yang sangat pribadi, sebenarnya ia sedang
berbincang dengan dirinya yang lain. Tanpa disadari ia sering kali juga membagi
diri itu sebagai diri yang menulis, diri yang ditulis dan diri yang untuknyalah
tulisan itu dibuat. Terkadang bisa menjadi diri yang dulu dan diri yang kini.
Sebuah diri dapat menjadi berbagai kemungkinan dalam tulisan.
“Aku membutuhkan
ketenangan, kukira. Aku mau membereskan beberapa hal. Aku mau kembali menulis.
Aku tahu aku harus meraih hidupku kembali. Saat ini, itulah yang ingin kucapai,
dan aku sudah berjanji sebelum aku pergi. Kupikir aku harus melukai hati
beberapa orang ketika memutuskan hal ini. Aku sungguh tidak mau, tapi aku
harus. Tolonglah aku supaya bisa menolong diriku sendiri. (Fay, November 1997).
Menulis
adalah menyeleksi kejadian-kejadian dalam hidup, mengungkapkan apa yang bisa
diterima oleh orang lain dan menyimpan yang tidak. Manusia yang terekam dalam
sebuah tulisan adalah sosok yang telah direkontruksi melalui tafsir berbagai
pihak, yang terkadang memperhitungkan berbagai faktor lain diluar dirinya.
Kamis, 09 April 2015
Sekedar Celoteh
Adakalanya keberuntungan akan menyertai
orang-orang yang merugi sekalipun. Anggap saja untuk saat ini, takdir sedang
berjalan lambat sembari mempermainkan kita. Empat menit jauh lebih lama dari yang
kita bayangkan, mengapa? Karena ini bisa merusak semua rencana, bisa mengarah
ke kegagalan; dan semua hanya demi kepentingan apa. Lagipula hanya sedikit
mampu mengespos kita dan beresiko membahayakan semua urusan.
“Oh,
gurauan yang lucu!” ini sangat jahat. Sudah lama kita tidak tertawa seperti
ini.
“Tolong,
tahan satu detik.... saya telah menduga akhir seperti ini... bahkan, saya
membiarkannya... itu adalah pengakuan terbaik yang bisa kita dapat”.
Sekeras apa pun kita memikirkanya, toh ini akan dijalani juga. berterimaksihlah kepadan-Nya.
Jumat, 03 April 2015
Celoteh Miring
Apa yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa
Bima hari ini adalah merupakan manifestasi dari sebuah demokrasi. Segala
tuntutan dan aspirasi yang mereka orasikan adalah suara kebenaran untuk
menuntut segala sesuatu harus pada tempatnya. Jangan ditanggapi sebagai sebuah
gerakan makar, karena mereka adalah segelintir masyarakat yang Cinta Akan Tanah
Airnya Sendiri..... gerakan mahasiswa adalah realita di lapangan yang
tidak bisa dipungkiri. Mencegah sesuatu yang sudah direncanakan untuk skala
nasional adalah mustahil diteriakan oleh suara dari daerah.
Ketika birokrasi yang hanya mementingkan urusan politik dan perut sendiri, jagan harap saran kebaikan akan dapat diterima.... Kalau memang demikian kenyataannya kebijakan itu perlu diiringi dengan kebijakan lain yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat, stop impor beras dan kelola beras lokal, petani, buruh dan nelayan harus menjadi kelas nomor 3 di republik ini, mahasiswa harus kenyang maka yakinlah republik ini akan aman.
Ketika birokrasi yang hanya mementingkan urusan politik dan perut sendiri, jagan harap saran kebaikan akan dapat diterima.... Kalau memang demikian kenyataannya kebijakan itu perlu diiringi dengan kebijakan lain yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat, stop impor beras dan kelola beras lokal, petani, buruh dan nelayan harus menjadi kelas nomor 3 di republik ini, mahasiswa harus kenyang maka yakinlah republik ini akan aman.
Rabu, 01 April 2015
Aku Sepuluh Tahun
Ketika aku sepuluh tahun lebih muda dari sekarang, aku adalah seorang yang tidak punya
persoalan dan kekhawatiran.Setiap wajah baru memenuhiku dengan kesenangan dan
kesukacitaan. Aku sangat tertarik dengan hal-hal baru yang belum ku ketahui.
Dibagian hidupku inilah aku bertemu dengan orang-orang yang tidak mudah
dilupakan.
Ketika
aku sepuluh tahun lebih muda dari sekarang, aku punya pekerjaan yang
menyenangkan yaitu pergi ke ujung kampung menikmati hembusan angin puncak
setiap senja. Pada tahun itu, di sepanjang musim bercocok tanam, aku bagaikan
seekor burung yang terbang tinggi dengan bebas. Aku akan berterbangan ditengah
rumah-rumah penduduk desa dan padang dipenuhi ilalang yang disirami cahaya
matahari. Aku merasakan kasih sayang istimewa di dalam kopi pahit yang diseduh
oleh para petani. Aku selalu menemukan “seteko” kopi pahit itu di bawah pohon
dekat lamtaro yang terletak dipinggir sawah, tanpa berpikir dua kali aku akan
langsung menuangnya dan mengisi cangkirku yang sudah berbekas kopi. Setelah
mengisi cangkirku penuh-penuh, aku mulai berbincang-bincang dengan beberapa
ibu-ibu pekerja.
Pernah
sekali aku menghabiskan siang dengan mengobrol bersama seorang lelaki tua yang
memiliki kebun jambu. Seumur hidup belum pernah aku makan jambu sebanyak itu.
Saat aku berdiri dan beranjak untuk pergi, tiba-tiba aku sadar perutku
kekenyangan dan aku jadi susah untuk berjalan, seperti wanita hamil saja. Masih
hari itu juga, aku duduk-duduk bersama seorang wanita yang sudah menjadi
seorang nenek. Ia membersihkan rumput-rumput dari padinya sambil bernyanyi
“Hamil Sepuluh Bulan” untukku. Aku sangat suka duduk-duduk ditepi sawah hingga
menjelang senja. Ketika sinar matahari menerobos dahan-dahan pohon yang rapuh,
aku akan mengamati para petani berjalan
pulang ke rumah. Mereka berjalan melewatiku sambil berkipas-kipas.
Aku
berkeliaran hampir disetiap sawah, bahkan aku tidak ingat sawah siapa yang
pernah dan belum pernah kudatangi. Aku berjalan menuju sawah berikutnya dan aku
sering mendengar para petani berteriak, “Hei, anak itu kesini lagi!”. Dengan
demikian, orang-orang di desa tahu bahwa gadis kecil yang suka bercerita itu
datang lagi. Sebenarnya aku belajar
semua cerita itu dari mereka. Aku mengerti benar apa pun yang menarik perhatian
mereka secara alami juga akan membuatku tertarik.
Sekali
aku pernah melewati perempuan tua yang tanganya berdarah dan wajahnya tertekuk
sedang duduk di atas bukit. Kesedihan begitu menguasai dirinya. Ia mengangkat
kepalanya dan melihatku datang, dan tangisanya malah semakin keras. Aku
bertanya padanya, apa yang membuatnya sedih seperti itu. Sambil membersihkan
tanah yang menempel di celananya, ia bercerita kepadaku dengan marah tentang anaknya
yang tak tahu diuntung. Saat kutanya apa yang dilakukan anaknya, ia
memukul-mukul semak tanpa menjelaskan apa-apa. Aku langsung menebak perempuan
tua itu pasti sedang kesal dengan menantu perempuannya.
Ini
adalah “aku” sepuluh tahun yang lalu, Saat itu aku berbaring diantara dedaunan
dan rumput, lalu tidur selama dua jam penuh. Selama aku tertidur, kakiku
dirayapi semut, bahkan saat aku tertidur lelap pun jariku dengan cepat menjentikkan
semut-semut itu, mengusir mereka pergi. Aku merasa sedang berada di tepi
pantai, dan gema teriakan lelaki tua yang sedang membuat gubuk bambu begitu jauh kedengaran dari telingaku. Aku
terbangun dari mimpiku, dan suara orang yang sedang memanggil itu begitu jelas terdengar. Aku segera berbalik dan
kulihat lelaki tua di tengah sawah terdekat sedang berusaha membujuk anaknya
untuk ikut berkerja.
Perasaanku
tersntuh melihat wajah gelap lelaki tua itu tersenyum di bawah sinar matahari.
Keriput diwajahnya bergerak-gerak dengan gembira. Wajah yang berlumuran lumpur
bagaikan jalan setapak kecil di antara sawah. Aku dan lelaki tua itu duduk di
bawah pohon asam yang rindang. Dan di senja yang cerah itu, ia mulai
menceritakan kisah hidupnya.
Ketika
aku bertambah sepuluh tahun. Betapapun
inginnya, aku tidak akan pernah kembali pada keceriaan masa itu. Masa di mana
aku bisa terbang dengan bebasnya seperti burung. Kini, aku dipenuhi dengan
persoalan dan kekhawatiran. Aku nyaris melupakan diriku sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)