.

Minggu, 07 Juni 2015

Segores Lirik Yang Menyatu

Mungkin akan ada baiknya jika kau mencoba mencintai dengan hati, bukan dengan mata. Sebab mata tak pernah mampu menyimpan cinta ketika ia terlelap…..

Petang lalu, disudut keramahanmu, mengalun sebait tanda tak mampu terjawab. “Jika aku adalah waktu, di sibukmu yang mana kau menyimpan ingatku?”.
“Sebab makna tak selalu terbisikkan, mulailah mengeja–ngeja apa yang mampu kau tangkap. Sebab kata tak perlu selalu diucap, mulailah menebak-nebak apa yang terangkum dalam bathinmu”. Itu katamu, sewaktu kita bertelanjang kaki ditengah rimbunya ilalang menguning pada Desember lalu.
Mengeja, menebak, memaknai, meresapi, menjaga…. Itu hakikat rasa, katamu. Lalu, adakah bila segalanya membalik membentuk pola lain, kau mampu menyusunnya kembali menjadi sebuah mozaik indah?
“Hmmm, selalu. Kata memang tak pernah kehabisan huruf dalam mengurai tanya”.
Setelah detik berlalu, tanya pun menuai jawabnya. “Kita, manusia baru. Dilahirkan untuk bersama, menggenapkan rasa pun berbagi bahu.
Sebab jawab tak sekedar lisan,
Sebab cinta tak sekedar mata,
Sebab hidup tak sekedar harapan,
Maka  maknailah segala apa yang ada dengan segala kerendahan dan keramahan hatimu.
Rasa tidak hanya tentang tanya yang terjawab….
Cinta tidak hanya tentang mata memandang….
Hidup tidak hanya tentang apa yang kita kejar…
Lalu, jadikan hati sebagai tameng dalam segalamu memulai.


Rabu, 03 Juni 2015

SUATU KETIKA (Sebuah Renungan)


Jika hari ini engkau ditakdirkan tiada, seperti apa engkau ingin dikenang?
            Suatu ketika, ketika tubuh saya terbujur kaku di atas pembaringan, para sanak, keluarga, tetangga dan orang-orang sekitar mendatangi saya. Mereka bertanya pada orang-orang yang saya tinggalkan. “ di mana ia?”. “dia sudah tiada dan telah pergi”. Lantas, mereka pun menangisi jasad  yang terbujur kaku itu.
            Manusia hanya pengendara di atas punggung usianya. Digulung hari, bulan dan tahun tanpa terasa . Nafas pun terus berhembus, setia menuntun kita ke pintu kematian. Sebenarnya dunialah yang kita jauhi dan liang kubur yang kita dekati. Satu hari berlalu, berarti satu hari berkurang umur kita. Umur kita yang tersisa hari ini sungguh tidak ternilai harganya, sebab esok hari belum tentu jadi bagian dari diri kita. Karena itu, jika satu hari berlalu tapi tiada pahala dan keyakinan kita bertambah, apalah arti hidup kita?
Seandainya kematian itu adalah akhir dari segalanya dan kita ditinggalkan begitu saja, maka kematian adalah tempat peristirahatan terindah bagi setiap yang hidup. Namun tidaklah demikian, karena kematian adalah awal dari kehidupan yang tidak berujung dan kita akan ditanya tentang segala sesuatu, sungguh penyesalan karena tidak bisa lagi mengerjakan amal sholeh jauh lebih menyakitkan daripada kematian itu sendiri.
Ajal kita adalah nafas yang dihitung.
Peristiwa dunia datang dan pergi silih berganti.
Di mana orang –orang dulu yang pernah kita lihat?
Kini mereka telah mati dan kita pasti mati setelah mereka.
Bagaimana aku ini…..
Kematian seakan sudah dihamparkan dihadapanku
Tapi aku masih sibuk memanjangkan angan-angan.
Kelalaianku dalam hari-hariku adalah kejelekan-kejelekanku yang akan dibungkus dalam kafan di liang kuburku.
Aku telah menyia-nyiakan sesuatu yang seharusnya aku kerjakan
(Syair Ali Shalih Al-Hazza)
Gema adzan seseorang dikumandangkan ketika si kecil lahir, dan shalat diakhirkan sampai ia mati. Ini menunjukkan bahwa hidupnya hanya sebentar, sebagaimana waktu antara adzan dan shalat. (Anonim)

Sabtu, 11 April 2015

Identitas (Sebuah Hasil Tawar Menawar)

Setiap orang ingin menemukan suatu fragmen kehidupan yang hilang atau yang ingin menemukan suara-suara sayup yang tak terdengar, maka kisah kehidupan pribadi seseorang adalah sumber yang harus digali” ((Ronald P Loftus, 2004).
Berangkat dari perkataan Ronald P Loftus, saya agaknya menemukan ide untuk memulai awal pengetikan kali ini. Saat seseorang berkata “aku” atau “saya”, pada saat itulah mereka tidak saja menggambarkan diri mereka, namun juga mempunyai kesempatan untuk membentuk dan merekonstruksi diri mereka.
Sebelum seseorang menorehkan “saya” dan menggambarkan tentang “saya” ini, ada berbagai presepsi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengakar. Karena itulah, sebuah identitas terkadang adalah hasil dari tawar menawar antara bermacam suara pribadi, sosial dan ideologi.
Ekspresi seseorang terkadang adalah sebuah orkestrasi dari bermacam bunyi yang tidak selalu berada dalam harmoni, namun juga bertentangan dan berlomba-lomba untuk dapat dijadikan sebagai “identitas pribadi”. Seseorang yang menulis tentang dirinya, tentu tidak luput dari segala ideologi di sekitar mereka.
Namun, adalah naïf bila  kita memercayai bahwa tulisan kehidupan seseorang mencerminkan pribadi dan pikiran mereka, tanpa memperhatikan ideologi-ideologi di sekitarnya. Ideologi yang bisa dengan mudah memanipulasi tulisan mereka. Terkadang apa yang dituliskan oleh seseorang belum tentu sama dengan apa yang dipercayai olehnya, karena adanya “ancaman” dari sosial dan dirinya sendiri.
Maka tidak heran jika Eugene O’Neill mengatakan “ hidup seseorang di luar sana, lewat dalam kesepian dihantui oleh topeng-topeng manusia lain, hidup pribadinya lewat dalam keheningan dihantui oleh topeng diri sendiri”
Karenanya, ketika seseorang menulis sesuatu yang sangat pribadi, sebenarnya ia sedang berbincang dengan dirinya yang lain. Tanpa disadari ia sering kali juga membagi diri itu sebagai diri yang menulis, diri yang ditulis dan diri yang untuknyalah tulisan itu dibuat. Terkadang bisa menjadi diri yang dulu dan diri yang kini. Sebuah diri dapat menjadi berbagai kemungkinan dalam tulisan.
“Aku membutuhkan ketenangan, kukira. Aku mau membereskan beberapa hal. Aku mau kembali menulis. Aku tahu aku harus meraih hidupku kembali. Saat ini, itulah yang ingin kucapai, dan aku sudah berjanji sebelum aku pergi. Kupikir aku harus melukai hati beberapa orang ketika memutuskan hal ini. Aku sungguh tidak mau, tapi aku harus. Tolonglah aku supaya bisa menolong diriku sendiri. (Fay, November 1997).

Menulis adalah menyeleksi kejadian-kejadian dalam hidup, mengungkapkan apa yang bisa diterima oleh orang lain dan menyimpan yang tidak. Manusia yang terekam dalam sebuah tulisan adalah sosok yang telah direkontruksi melalui tafsir berbagai pihak, yang terkadang memperhitungkan berbagai faktor lain diluar dirinya.

Kamis, 09 April 2015

Sekedar Celoteh

Adakalanya keberuntungan akan menyertai orang-orang yang merugi sekalipun. Anggap saja untuk saat ini, takdir sedang berjalan lambat sembari mempermainkan kita. Empat menit jauh lebih lama dari yang kita bayangkan, mengapa? Karena ini bisa merusak semua rencana, bisa mengarah ke kegagalan; dan semua hanya demi kepentingan apa. Lagipula hanya sedikit mampu mengespos kita dan beresiko membahayakan semua urusan.
“Oh, gurauan yang lucu!” ini sangat jahat. Sudah lama kita tidak tertawa seperti ini.
“Tolong, tahan satu detik.... saya telah menduga akhir seperti ini... bahkan, saya membiarkannya... itu adalah pengakuan terbaik yang bisa kita dapat”.
Sekeras apa pun kita memikirkanya, toh ini akan dijalani juga. berterimaksihlah kepadan-Nya.

Jumat, 03 April 2015

Celoteh Miring

Apa yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa Bima hari ini adalah merupakan manifestasi dari sebuah demokrasi. Segala tuntutan dan aspirasi yang mereka orasikan adalah suara kebenaran untuk menuntut segala sesuatu harus pada tempatnya. Jangan ditanggapi sebagai sebuah gerakan makar, karena mereka adalah segelintir masyarakat yang Cinta Akan Tanah Airnya Sendiri.....gerakan mahasiswa adalah realita di lapangan yang tidak bisa dipungkiri. Mencegah sesuatu yang sudah direncanakan untuk skala nasional adalah mustahil diteriakan oleh suara dari daerah. 
Ketika birokrasi yang hanya mementingkan urusan politik dan perut sendiri, jagan harap saran kebaikan akan dapat diterima.... Kalau memang demikian kenyataannya kebijakan itu perlu diiringi dengan kebijakan lain yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat, stop impor beras dan kelola beras lokal, petani, buruh dan nelayan harus menjadi kelas nomor 3 di republik ini, mahasiswa harus kenyang maka yakinlah republik ini akan aman.

Rabu, 01 April 2015

Aku Sepuluh Tahun

Ketika aku sepuluh tahun lebih muda dari sekarang, aku adalah seorang yang tidak punya persoalan dan kekhawatiran.Setiap wajah baru memenuhiku dengan kesenangan dan kesukacitaan. Aku sangat tertarik dengan hal-hal baru yang belum ku ketahui. Dibagian hidupku inilah aku bertemu dengan orang-orang yang tidak mudah dilupakan.
Ketika aku sepuluh tahun lebih muda dari sekarang, aku punya pekerjaan yang menyenangkan yaitu pergi ke ujung kampung menikmati hembusan angin puncak setiap senja. Pada tahun itu, di sepanjang musim bercocok tanam, aku bagaikan seekor burung yang terbang tinggi dengan bebas. Aku akan berterbangan ditengah rumah-rumah penduduk desa dan padang dipenuhi ilalang yang disirami cahaya matahari. Aku merasakan kasih sayang istimewa di dalam kopi pahit yang diseduh oleh para petani. Aku selalu menemukan “seteko” kopi pahit itu di bawah pohon dekat lamtaro yang terletak dipinggir sawah, tanpa berpikir dua kali aku akan langsung menuangnya dan mengisi cangkirku yang sudah berbekas kopi. Setelah mengisi cangkirku penuh-penuh, aku mulai berbincang-bincang dengan beberapa ibu-ibu pekerja.
Pernah sekali aku menghabiskan siang dengan mengobrol bersama seorang lelaki tua yang memiliki kebun jambu. Seumur hidup belum pernah aku makan jambu sebanyak itu. Saat aku berdiri dan beranjak untuk pergi, tiba-tiba aku sadar perutku kekenyangan dan aku jadi susah untuk berjalan, seperti wanita hamil saja. Masih hari itu juga, aku duduk-duduk bersama seorang wanita yang sudah menjadi seorang nenek. Ia membersihkan rumput-rumput dari padinya sambil bernyanyi “Hamil Sepuluh Bulan” untukku. Aku sangat suka duduk-duduk ditepi sawah hingga menjelang senja. Ketika sinar matahari menerobos dahan-dahan pohon yang rapuh, aku akan  mengamati para petani berjalan pulang ke rumah. Mereka berjalan melewatiku sambil berkipas-kipas.
Aku berkeliaran hampir disetiap sawah, bahkan aku tidak ingat sawah siapa yang pernah dan belum pernah kudatangi. Aku berjalan menuju sawah berikutnya dan aku sering mendengar para petani berteriak, “Hei, anak itu kesini lagi!”. Dengan demikian, orang-orang di desa tahu bahwa gadis kecil yang suka bercerita itu datang lagi.  Sebenarnya aku belajar semua cerita itu dari mereka. Aku mengerti benar apa pun yang menarik perhatian mereka secara alami juga akan membuatku tertarik.
Sekali aku pernah melewati perempuan tua yang tanganya berdarah dan wajahnya tertekuk sedang duduk di atas bukit. Kesedihan begitu menguasai dirinya. Ia mengangkat kepalanya dan melihatku datang, dan tangisanya malah semakin keras. Aku bertanya padanya, apa yang membuatnya sedih seperti itu. Sambil membersihkan tanah yang menempel di celananya, ia bercerita kepadaku dengan marah tentang anaknya yang tak tahu diuntung. Saat kutanya apa yang dilakukan anaknya, ia memukul-mukul semak tanpa menjelaskan apa-apa. Aku langsung menebak perempuan tua itu pasti sedang kesal dengan menantu perempuannya.
Ini adalah “aku” sepuluh tahun yang lalu, Saat itu aku berbaring diantara dedaunan dan rumput, lalu tidur selama dua jam penuh. Selama aku tertidur, kakiku dirayapi semut, bahkan saat aku tertidur lelap pun jariku dengan cepat menjentikkan semut-semut itu, mengusir mereka pergi. Aku merasa sedang berada di tepi pantai, dan gema teriakan lelaki tua yang sedang membuat gubuk bambu  begitu jauh kedengaran dari telingaku. Aku terbangun dari mimpiku, dan suara orang yang sedang memanggil  itu begitu  jelas terdengar. Aku segera berbalik dan kulihat lelaki tua di tengah sawah terdekat sedang berusaha membujuk anaknya untuk ikut berkerja.
Perasaanku tersntuh melihat wajah gelap lelaki tua itu tersenyum di bawah sinar matahari. Keriput diwajahnya bergerak-gerak dengan gembira. Wajah yang berlumuran lumpur bagaikan jalan setapak kecil di antara sawah. Aku dan lelaki tua itu duduk di bawah pohon asam yang rindang. Dan di senja yang cerah itu, ia mulai menceritakan kisah hidupnya.
Ketika aku bertambah sepuluh  tahun. Betapapun inginnya, aku tidak akan pernah kembali pada keceriaan masa itu. Masa di mana aku bisa terbang dengan bebasnya seperti burung. Kini, aku dipenuhi dengan persoalan dan kekhawatiran. Aku nyaris melupakan diriku sendiri.