.

Senin, 28 Mei 2012

MENANTI AYAH

Dua tahun semenjak Ayah meninggalkanku, hatiku selalu dirundung sepi. Kepergian ayah untuk mengais rezeki di negeri seberang sungguh diluar dugaanku, bahkan bermimpi tentang kepergian ayahpun tak terlintas sama sekali dalam benakku. Kini hari-hari tanpa ayah kuhabiskan di kebun belakang rumah hanya untuk melamun. sesekali aku membuka catatan harianku, membaca ulang masa-masa ceriaku bersama ayah atau membuka album foto keluarga. Aku merasa, betapa bahagianya ketika aku dan ayah berdua masih sebagai tim yang kompak.
Setiap pagi pergi ke kebun di belakang rumah untuk memetik tomat dan cabe untuk keperluan dapur maupun untuk dipasarkan, sorenya duduk bersama dan melihat matahari tenggelam di ujung terjauh kebun belakang rumah. Aku lebih dekat dengan ayah ketimbang ibu oleh karena itu sampai sekarang aku masih sering menangis bila teringat akan ayah. “Rasnah,ayo !” suara ibu tiba-tiba mengagetkanku. “Sebentar !”secepat kilat tanganku memasukkan tomat dan cabe ke dalam keranjang. “Iya, Bu. Ada apa?” “Cepat makan dulu. Dari tadi kau hanya sibuk di kebun nanti kamu sakit.” Tanpa pikir panjang aku langsung pergi ke dapur, ku buka tudung makanan itu. Tempe, sayur asam dan sambal goreng. “Ini semua makanan kesukaan kamu dan ayahmu kan?” sela ibu. Sejenak aku melamun. Ingatanku kembali berputar tentang ayah. Ya, ayah sekaligus sahabatku. “lho kok malah melamun?” suara ibu mengejutkanku. “Eee….iya,Bu!” *** Malam itu, di beranda rumah. Aku tertegun sambil menghadapkan wajah pada jejeran pohon-pohon mangga depan rumah. Udara saat itu tidak terlalu dingin seperti biasanya. Sebentar-sebentar bulan muncul lalu tertutup awan lagi. “Bagaimana kabar ayah disana?” bisikku. Bayangan tentang ayah kembali muncul. Biasanya ayah akan membawakanku secangkir teh hangat bila aku sedang duduk menikmati indahnya cahaya rembulan usai shalat isya. “Aku harap semoga ayah baik-baik saja disana, sungguh aku merindukanmu ayah,” Rindu untuk saling tertawa membuang luka dan selalu menjadi team yang kompak. “Jangan buat ayah bersedih bila kelak terjadi perpisahan antara kita. Ayah ingin agar kamu tetap slalu tersenyum dan ceria.” Kata ayah menjelang hari keberangkatanya. “Apakah ayah akan lama disana?” tanyaku waktu itu. “Ayah hanya sementara disana, lagi pula ayah tidak bisa lama-lama jauh dari kamu dan ibumu, kamu dan ibumu adalah anugerah terindah yang telah Allah berikan untuk ayah.” Itulah kata-kata terakhir ayah yang slalu ku ingat. Aku tidak takut lagi bahwa ayah akan berpaling dari aku dan ibu seperti ayah Nadia teman sekolahku yang telah puluhan tahun menelantarkan Nadia dan ibunya hanya karena telah menikah lagi dengan gadis muda di negeri seberang tempatnya merantau. Semenjak itu bapaknya Nadia tak pernah pulang-pulang lagi, walau sekedar untuk menjenguk Nadia dan ibunya. Lagi-lagi bulan menampakkan diri. Kali ini wajahnya benar-benar tampak bundar dan cahayanya nampak lebih benderang. Kebun pisang di samping rumah kini terlihat indah kekuningan. “Rasnah, kamu tidak apa-apa, Nak?” suara ibu memecah hening. “Ah, tidak Bu, Rasnah hanya kangen sama ayah saja!” “Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir tentang ayahmu,kasihan ayahmu disana, nanti akan terbebani dengan pikiranmu, ikhlaskan semuanya. kalau waktunya telah tiba, ayahmu pasti akan kembali berkumpul lagi bersama kita disini.” Aku mencoba tersenyum di hadapan ibu, senyum kecil yang kaku. Akupun menyadari bahwa suka maupun tidak suka, pada manusia atau makluk-makhluk lainya pasti terjadi perpisahan. Meskipun awalnya sangat berat untuk menerima, namun akhirnyapun semua akan berjalan seperti biasanya. Ya, seperti kata orang, waktu akan menyembuhkan segalanya, waktu dan jarak akan mengaburkan kenangan kita hingga sampai ketitik saat kita tak lagi berpikir tentangnya, rasa rindu itu tidak lagi senyeri sekarang. Aku kembali menatap kebun pisang, masih tetap berwarna kekuningan. Wajah bulan itu semakin bulat dan cahayanya semakin kuat bersinar, sungguh indah. Bagiku malam itu merupakan malam terpenting. Ada pesan yang di tinggalkan untukku sebagai bekal perjalanan hidup yang lebih jauh. “Ayo masuk, Nak. Sudah malam!” “Iya, Bu,”jawabku sambil menghapus air mata. *** Sehabis shalat subuh, aku menyempatkan membantu ibu di dapur. Lalu segera menuju kebun di belakang rumah. Pagi ini aku dan ibu akan panen tomat dan cabe untuk di pasarkan di pasar tradisional dekat rumah. Di tambah lagi pesanan dari ibu-ibu tetangga semakin meningkat, jadi harus kerja ekstra. Beruntung juga sekolah masih libur. Selesai sudah pekerjaan memetik tomat dan lomboknya, menjelang siang aku dan ibu kembali ke rumah. Mendadak terasa aneh. Di pelataran rumah ada dua orang laki-laki sedang berbincang-bincang. Aku dan ibu belum sempat mengenalnya, namun setelah mendekat barulah aku dan ibu kenal tamu itu. Mereka adalah Om Madir dan Om Burhan. Teman ayah yang sama-sama satu lokasi kerja. “Assalamualaikum!” sapa ibu. “Wa’alaikumsalam,” jawabnya serentak. “Baru pulang dari kebun ya, Bu Lastri?” Tanya Om Madin memulai percakapan. “Iya, Pak. Ada apa ya siang-siang begini?” Serempak semuanya diam. Om Madin dan Om Burhan saling bertatapan. “Duduklah dulu Bu Lastri, nanti saya akan jelaskan semuanya.” Aku mulai curiga. “ada apa, Om?” tanyaku tak sabar. “Ada berita dari ayahmu, Nak,” “Ayah?” mataku berbinar, kegembiraan mulai muncul. Sesingkat pertanyaan itu pula semuanya membisu. Suasana menjadi asing. Terlebih pada diriku dan ibu yang kini semakin kuat mencium kecurigaan. “Om, tolong ceritakan tentang ayah, bagaimana kabarnya,apakah ayah baik-baik saja disana?” mulutku bergetar. “Nak, ayahmu baik-baik saja.sebelum Om Madin dan Om Burhan balik kesini, ayahmu sempat datang ke penginapan Om. Ayahmu sudah jadi mandor disana. Iapun masih sering menceritakan tentang kamu dan ibumu. Tapi sayang, ayahmu belum bisa pulang untuk bertemu dengan kalian, walaupun Om sempat mengajaknya.” “Kenapa, Om? Tidak rindukah ayah padaku dan ibu?” aku semakin penasaran. Om Burhan mencoba menahan perasaannya. “Bu Lastri, Rasnah. Maafkan saya karena terpaksa harus menyampaikan berita ini, sebenarnya, ayahmu telah menikah lagi disana dan telah di anugerahi seorang anak pula.” Bagai disambar petir, hatiku hancur. Seluruh tubuhku bergetar. Mau remuk rasanya. Bibirku terlalu kaku untuk menjawab tidak percaya. Sekarang bayangan tentang ayah menjadi sangat gelap dan pudar. “Ibu!!!!” aku menjerit. Air mataku mengalir deras. Ibu mendekapku erat penuh kasih sayang. Air matanyapun tumpah sejadi-jadinya. “Ayah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar