“Setiap orang ingin menemukan suatu fragmen
kehidupan yang hilang atau yang ingin menemukan suara-suara sayup yang tak
terdengar, maka kisah kehidupan pribadi seseorang adalah sumber yang harus
digali” ((Ronald P Loftus, 2004).
Berangkat
dari perkataan Ronald P Loftus, saya agaknya menemukan ide untuk memulai awal pengetikan kali ini.
Saat seseorang berkata “aku” atau “saya”, pada saat itulah mereka tidak saja
menggambarkan diri mereka, namun juga mempunyai kesempatan untuk membentuk dan
merekonstruksi diri mereka.
Sebelum
seseorang menorehkan “saya” dan menggambarkan tentang “saya” ini, ada berbagai
presepsi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengakar. Karena
itulah, sebuah identitas terkadang adalah hasil dari tawar menawar antara
bermacam suara pribadi, sosial dan ideologi.
Ekspresi
seseorang terkadang adalah sebuah orkestrasi dari bermacam bunyi yang tidak
selalu berada dalam harmoni, namun juga bertentangan dan berlomba-lomba untuk
dapat dijadikan sebagai “identitas pribadi”. Seseorang yang menulis tentang
dirinya, tentu tidak luput dari segala ideologi di sekitar mereka.
Namun,
adalah naïf bila kita memercayai bahwa
tulisan kehidupan seseorang mencerminkan pribadi dan pikiran mereka, tanpa
memperhatikan ideologi-ideologi di sekitarnya. Ideologi yang bisa dengan mudah
memanipulasi tulisan mereka. Terkadang apa yang dituliskan oleh seseorang belum
tentu sama dengan apa yang dipercayai olehnya, karena adanya “ancaman” dari
sosial dan dirinya sendiri.
Maka
tidak heran jika Eugene O’Neill mengatakan “ hidup seseorang di luar sana,
lewat dalam kesepian dihantui oleh topeng-topeng manusia lain, hidup pribadinya
lewat dalam keheningan dihantui oleh topeng diri sendiri”
Karenanya,
ketika seseorang menulis sesuatu yang sangat pribadi, sebenarnya ia sedang
berbincang dengan dirinya yang lain. Tanpa disadari ia sering kali juga membagi
diri itu sebagai diri yang menulis, diri yang ditulis dan diri yang untuknyalah
tulisan itu dibuat. Terkadang bisa menjadi diri yang dulu dan diri yang kini.
Sebuah diri dapat menjadi berbagai kemungkinan dalam tulisan.
“Aku membutuhkan
ketenangan, kukira. Aku mau membereskan beberapa hal. Aku mau kembali menulis.
Aku tahu aku harus meraih hidupku kembali. Saat ini, itulah yang ingin kucapai,
dan aku sudah berjanji sebelum aku pergi. Kupikir aku harus melukai hati
beberapa orang ketika memutuskan hal ini. Aku sungguh tidak mau, tapi aku
harus. Tolonglah aku supaya bisa menolong diriku sendiri. (Fay, November 1997).
Menulis
adalah menyeleksi kejadian-kejadian dalam hidup, mengungkapkan apa yang bisa
diterima oleh orang lain dan menyimpan yang tidak. Manusia yang terekam dalam
sebuah tulisan adalah sosok yang telah direkontruksi melalui tafsir berbagai
pihak, yang terkadang memperhitungkan berbagai faktor lain diluar dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar