.

Sabtu, 11 April 2015

Identitas (Sebuah Hasil Tawar Menawar)

Setiap orang ingin menemukan suatu fragmen kehidupan yang hilang atau yang ingin menemukan suara-suara sayup yang tak terdengar, maka kisah kehidupan pribadi seseorang adalah sumber yang harus digali” ((Ronald P Loftus, 2004).
Berangkat dari perkataan Ronald P Loftus, saya agaknya menemukan ide untuk memulai awal pengetikan kali ini. Saat seseorang berkata “aku” atau “saya”, pada saat itulah mereka tidak saja menggambarkan diri mereka, namun juga mempunyai kesempatan untuk membentuk dan merekonstruksi diri mereka.
Sebelum seseorang menorehkan “saya” dan menggambarkan tentang “saya” ini, ada berbagai presepsi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengakar. Karena itulah, sebuah identitas terkadang adalah hasil dari tawar menawar antara bermacam suara pribadi, sosial dan ideologi.
Ekspresi seseorang terkadang adalah sebuah orkestrasi dari bermacam bunyi yang tidak selalu berada dalam harmoni, namun juga bertentangan dan berlomba-lomba untuk dapat dijadikan sebagai “identitas pribadi”. Seseorang yang menulis tentang dirinya, tentu tidak luput dari segala ideologi di sekitar mereka.
Namun, adalah naïf bila  kita memercayai bahwa tulisan kehidupan seseorang mencerminkan pribadi dan pikiran mereka, tanpa memperhatikan ideologi-ideologi di sekitarnya. Ideologi yang bisa dengan mudah memanipulasi tulisan mereka. Terkadang apa yang dituliskan oleh seseorang belum tentu sama dengan apa yang dipercayai olehnya, karena adanya “ancaman” dari sosial dan dirinya sendiri.
Maka tidak heran jika Eugene O’Neill mengatakan “ hidup seseorang di luar sana, lewat dalam kesepian dihantui oleh topeng-topeng manusia lain, hidup pribadinya lewat dalam keheningan dihantui oleh topeng diri sendiri”
Karenanya, ketika seseorang menulis sesuatu yang sangat pribadi, sebenarnya ia sedang berbincang dengan dirinya yang lain. Tanpa disadari ia sering kali juga membagi diri itu sebagai diri yang menulis, diri yang ditulis dan diri yang untuknyalah tulisan itu dibuat. Terkadang bisa menjadi diri yang dulu dan diri yang kini. Sebuah diri dapat menjadi berbagai kemungkinan dalam tulisan.
“Aku membutuhkan ketenangan, kukira. Aku mau membereskan beberapa hal. Aku mau kembali menulis. Aku tahu aku harus meraih hidupku kembali. Saat ini, itulah yang ingin kucapai, dan aku sudah berjanji sebelum aku pergi. Kupikir aku harus melukai hati beberapa orang ketika memutuskan hal ini. Aku sungguh tidak mau, tapi aku harus. Tolonglah aku supaya bisa menolong diriku sendiri. (Fay, November 1997).

Menulis adalah menyeleksi kejadian-kejadian dalam hidup, mengungkapkan apa yang bisa diterima oleh orang lain dan menyimpan yang tidak. Manusia yang terekam dalam sebuah tulisan adalah sosok yang telah direkontruksi melalui tafsir berbagai pihak, yang terkadang memperhitungkan berbagai faktor lain diluar dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar