.

Rabu, 01 April 2015

Aku Sepuluh Tahun

Ketika aku sepuluh tahun lebih muda dari sekarang, aku adalah seorang yang tidak punya persoalan dan kekhawatiran.Setiap wajah baru memenuhiku dengan kesenangan dan kesukacitaan. Aku sangat tertarik dengan hal-hal baru yang belum ku ketahui. Dibagian hidupku inilah aku bertemu dengan orang-orang yang tidak mudah dilupakan.
Ketika aku sepuluh tahun lebih muda dari sekarang, aku punya pekerjaan yang menyenangkan yaitu pergi ke ujung kampung menikmati hembusan angin puncak setiap senja. Pada tahun itu, di sepanjang musim bercocok tanam, aku bagaikan seekor burung yang terbang tinggi dengan bebas. Aku akan berterbangan ditengah rumah-rumah penduduk desa dan padang dipenuhi ilalang yang disirami cahaya matahari. Aku merasakan kasih sayang istimewa di dalam kopi pahit yang diseduh oleh para petani. Aku selalu menemukan “seteko” kopi pahit itu di bawah pohon dekat lamtaro yang terletak dipinggir sawah, tanpa berpikir dua kali aku akan langsung menuangnya dan mengisi cangkirku yang sudah berbekas kopi. Setelah mengisi cangkirku penuh-penuh, aku mulai berbincang-bincang dengan beberapa ibu-ibu pekerja.
Pernah sekali aku menghabiskan siang dengan mengobrol bersama seorang lelaki tua yang memiliki kebun jambu. Seumur hidup belum pernah aku makan jambu sebanyak itu. Saat aku berdiri dan beranjak untuk pergi, tiba-tiba aku sadar perutku kekenyangan dan aku jadi susah untuk berjalan, seperti wanita hamil saja. Masih hari itu juga, aku duduk-duduk bersama seorang wanita yang sudah menjadi seorang nenek. Ia membersihkan rumput-rumput dari padinya sambil bernyanyi “Hamil Sepuluh Bulan” untukku. Aku sangat suka duduk-duduk ditepi sawah hingga menjelang senja. Ketika sinar matahari menerobos dahan-dahan pohon yang rapuh, aku akan  mengamati para petani berjalan pulang ke rumah. Mereka berjalan melewatiku sambil berkipas-kipas.
Aku berkeliaran hampir disetiap sawah, bahkan aku tidak ingat sawah siapa yang pernah dan belum pernah kudatangi. Aku berjalan menuju sawah berikutnya dan aku sering mendengar para petani berteriak, “Hei, anak itu kesini lagi!”. Dengan demikian, orang-orang di desa tahu bahwa gadis kecil yang suka bercerita itu datang lagi.  Sebenarnya aku belajar semua cerita itu dari mereka. Aku mengerti benar apa pun yang menarik perhatian mereka secara alami juga akan membuatku tertarik.
Sekali aku pernah melewati perempuan tua yang tanganya berdarah dan wajahnya tertekuk sedang duduk di atas bukit. Kesedihan begitu menguasai dirinya. Ia mengangkat kepalanya dan melihatku datang, dan tangisanya malah semakin keras. Aku bertanya padanya, apa yang membuatnya sedih seperti itu. Sambil membersihkan tanah yang menempel di celananya, ia bercerita kepadaku dengan marah tentang anaknya yang tak tahu diuntung. Saat kutanya apa yang dilakukan anaknya, ia memukul-mukul semak tanpa menjelaskan apa-apa. Aku langsung menebak perempuan tua itu pasti sedang kesal dengan menantu perempuannya.
Ini adalah “aku” sepuluh tahun yang lalu, Saat itu aku berbaring diantara dedaunan dan rumput, lalu tidur selama dua jam penuh. Selama aku tertidur, kakiku dirayapi semut, bahkan saat aku tertidur lelap pun jariku dengan cepat menjentikkan semut-semut itu, mengusir mereka pergi. Aku merasa sedang berada di tepi pantai, dan gema teriakan lelaki tua yang sedang membuat gubuk bambu  begitu jauh kedengaran dari telingaku. Aku terbangun dari mimpiku, dan suara orang yang sedang memanggil  itu begitu  jelas terdengar. Aku segera berbalik dan kulihat lelaki tua di tengah sawah terdekat sedang berusaha membujuk anaknya untuk ikut berkerja.
Perasaanku tersntuh melihat wajah gelap lelaki tua itu tersenyum di bawah sinar matahari. Keriput diwajahnya bergerak-gerak dengan gembira. Wajah yang berlumuran lumpur bagaikan jalan setapak kecil di antara sawah. Aku dan lelaki tua itu duduk di bawah pohon asam yang rindang. Dan di senja yang cerah itu, ia mulai menceritakan kisah hidupnya.
Ketika aku bertambah sepuluh  tahun. Betapapun inginnya, aku tidak akan pernah kembali pada keceriaan masa itu. Masa di mana aku bisa terbang dengan bebasnya seperti burung. Kini, aku dipenuhi dengan persoalan dan kekhawatiran. Aku nyaris melupakan diriku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar