Keputusan
itu telah ditetapkan. Sang Segala Maha, penguasa jagad
raya menjadi hakim atas sebuah standar nilai permanen yang akan merubah cara
pandang dan semua teknik perbandingan antar manusia. Bahwa, seutama-utamanya
manusia disisi-Nya adalah yang paling bertakwa. Satu kata yang menjadi pemutus
semua pandangan dan perasaan manusia akan makna keberhasilan dan kesuksesan.
Takwa adalah gelar langit yang
sekaligus memuat keutamaan, kemuliaan dan kehormatan diri, juga keindahan sebuah
sebutan atau gelar. Ia merdu mewangi ke segala penjuru seantero negeri dan
meninggi hingga melampaui tujuh petala langit. Sebuah pengakuan yang berlaku
abadi diseluruh penjuru ciptaan-Nya akan hakikat kemanusiaan. Buah dari iman
yang menghujam dan bersemayam dalam relung sanubari.
Ia bukan saja sekedar gelar kosong
tanpa arti, yang bahkan bisa dibuat oleh mufakat busuk para pendendam
kebenaran. Lengkap dengan semua atribut penghargaan palsu itu; piala, histeria,
puja-puji, publikasi, hingga decak kagum dan hadiah melimpah dalam bungkus
acara megah nan meriah.
Takwa bermula dari rasa takut akan
kemurkaan dan kemarahan-Nya. Buah dari makrifat tentang kebesaran dan
keagungan-Nya yang sempurna. Sebuah keadaan peduli hari esok yang menjaga dan
melindungi pemiliknya dari kelalaian pada yang wajib. Takwa akhirnya menjadi
ukuran tunggal dalam kompetisi antar manusia. Hingga apapun celah penilaian
atas persaingan dan pencapaian, serta memunculkan pemberian gelar selama hal
itu dalam kebaikan. Manusia yang bertakwa akan tampil dalam beribu sebutan
kebaikan yang lainya.
Hingga, jika sebuah gelar keutamaan
yang muncul dan memberi sosok selain manusia yang bertakwa, apalagi manusia
yang ingkar kepada Rabb, pastilah ada yang salah. Baik dalam penetapan standar,
proses penilaian, hingga pengambilan keputusannya. Kita pasti keliru sebab ia
bertentangan dengan keputusan yang telah dibuat, dan diumumkan oleh Sang
Penguasa alam. Tapi, berapa banyak diantara kita yang menyadarinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar