Berbicara tentang
perempuan, tidak sedikit diantara para penulis yang mengupas tentang dunia
perempuan dari masa ke masa. Dimulai dari kondisi kaum perempuan di
negeri-negeri barat yang materialis, negeri Arab yang masih jahiliyah, bangsa
India yang belum berperadaban, juga bangsa-bangsa lain yang semisal. Kemudian
biasanya diakhiri dengan bahasan
perempuan di jaman islam.
Yang patut disayangkan adalah bahwa akhir-akhir ini
suara-suara barat yang memendam benci kepada islam dan umatnya dengan lantang
menyuarakan emansipasi ( yang sebenarnya istilah ini sudah terlalu kuno untuk
disebut di masa sekarang). Mereka begitu gencar mempromosikan agar kaum
perempuan diberi ruang gerak dan porsi yang sama dengan lelaki. Baik pekerjaan,
pendidikan, kebebasan, olahraga, kesenian dan lainya.
Bisa dibayangkan yang terjadi kemudian, dalam
kondisi keimanan yang melemah, jahil akan syariat islam, rusak pola pikir dan
bashirahnya, maka dengan mudah kaum perempuan menyambut seruan jahiliyah ini.
Tidak peduli akan harga diri dan kehormatan yang harus mereka pertaruhkan dan
sebaliknya yang terjadi, slogan persamaan hak itu secara praktik telah berubah
menjadi eksploitasi besar-besaran terhadap kaum perempuan.
Arus hedonisme pun
senantiasa menarik perempuan dalam pusaran peradaban yang semakin “barbar”. Aktualisasi diri dengan
mengatasnamakan hak dan kebutuhan pun mulai gencar direklamekan. Berbagai mode
dan trend menawarkan kesempatan untuk diapresiasi oleh kaum perempuan. Tak
peduli mana perempuan kota maupun desa, yang menjadi incaran adalah supaya
perempuan tidak lagi membentengi diri dengas syariat agama dan ajaran luhur
para moyangnya.
Perempuan seakan ditarik dari zona syariat dan adat
menuju zona modernisasi dan westernisasi yang semakin memperkeruh pola pikir
kaum perempuan itu sendiri. Jika dahulu
di kampung-kampung, kita masih sering menyaksikan banyak dari kalangan kaum
perempuan (tak terkecuali ibu-ibu maupun remaja), apabila mereka hendak
meninggalkan rumahnya untuk suatu urusan tertentu, mereka senantiasa
memperhatikan apa yang akan mereka kenakan. Tentunya ketika mereka keluar rumah
tanpa mengenakan hijab, maka gunjingan dan tatapan sinis dari masyarakat
sekitar pun siap menyerang dari berbagai sudut.
Dalam kehidupan masyarakat tradisional, perempuan
dituntut untuk menjunjung sikap malu mengingat bahwa malu menjadi hal yang
harus dipahami dan dimiliki sebagai ciri natural, yang merupakan bagian dari
jiwa seseorang. Yaitu rasa khawatir akan penampilan, akan dikritik atau
ditertawakan. Singkatnya rasa takut dan sungkan akan mata, telinga dan pendapat
buruk orang lain tentangnya.
Perempuan
hanya dianggap mulia ketika ia senantiasa menjaga kehormatan diri dan mengikuti
aturan-aturan yang ada dalam masyarakat meskipun itu tidak tertulis. Karena itu pula, Susan Blackburn
sempat menulis bahwa fungsi perempuan Indonesia adalah penanda dan penjaga
batas dari kebudayaan Indonesia. Dalam masa itu, membiarkan perempuan ke luar
rumah untuk urusan publik merupakan aib keluarga yang tak gampang disembuhkan.
Lebih-lebih ketika perempuan itu pergi jauh dari rumah dan kampungnya, bertemu
kaum pria di bebagai tempat.
Islam telah
memuliakan seorang perempuan dengan menjadikannya sebagai pendidik generasi,
baiknya kondisi masyarakat tergantung pada baiknya kondisi perempuan dan
sebaliknya, rusaknya sebuah bangsa dan generasi pun ada di tangan perempuan
pula. Namun, meskipun demikian, islam tidak menutup ruang gerak untuk perempuan
berpartisipasi dan berkarya. Perempuan bisa masuk di berbagai wilayah publik.
Dalam pendidikan, kesehatan, penyantunan sosial, dan tablig atau dakwah.
Banyak perempuan mulai bertugas dalam berbagai disiplin
ilmu. Tindakan ini didasari pertimbangan praktis dan pragmatis tentang besarnya
peran perempuan bagi pertumbuhan kehidupan sosial masyarakat yang lebih sehat.
Tentunya, dengan tidak mengesampingkan kewajiban untuk senantiasa menjaga
sikap, berpenampilan sesuai dengan syariat dan tidak menyimpang dari islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar