( Ini cerpen pertama saya yang pernah di muat di media lokal / Harian Suara Mandiri Bima, Edisi 7 Desember 2012 )
Dua
tahun semenjak Ayah meninggalkanku, hatiku selalu dirundung sepi. Kepergian
ayah untuk mengais rezeki di negeri seberang sungguh diluar dugaanku, bahkan
bermimpi tentang kepergian ayahpun tak terlintas sama sekali dalam benakku.
Kini hari-hari tanpa ayah kuhabiskan di kebun belakang rumah hanya untuk
melamun. sesekali aku membuka catatan harianku, membaca ulang masa-masa ceriaku
bersama ayah atau membuka album foto keluarga. Aku merasa, betapa bahagianya
ketika aku dan ayah berdua masih sebagai tim yang kompak. Setiap pagi pergi ke
kebun di belakang rumah memetik tomat dan cabe untuk keperluan dapur maupun
dipasarkan, sorenya duduk bersama dan melihat matahari tenggelam di ujung
terjauh kebun milik kami.
“Rasnah,
ayo !” suara ibu tiba-tiba mengagetkanku.
“Sebentar
!”secepat kilat tanganku memasukkan tomat dan cabe ke dalam keranjang.
“Iya,
Bu. Ada apa?”
“Cepat
makan dulu. Dari tadi kau hanya sibuk di kebun nanti kamu sakit.”
Tanpa
pikir panjang aku langsung pergi ke dapur, ku buka tudung makanan itu. Tempe, sayur
asam dan sambal goreng.
“Ini
semua makanan kesukaan kamu dan ayahmu kan?” sela ibu.
Sejenak
aku melamun. Ingatanku kembali berputar tentang ayah. Ya, ayah sekaligus
sahabatku.
“lho
kok malah melamun?” suara ibu mengejutkanku.
“Eee….iya,Bu!”
***
Malam
itu, di beranda rumah. Aku tertegun sambil menghadapkan wajah pada jejeran
pohon-pohon mangga depan rumah. Udara saat itu tidak terlalu dingin seperti
biasanya. Sebentar-sebentar bulan muncul lalu tertutup awan lagi.
“Bagaimana
kabar ayah disana?” bisikku.
Bayangan
tentang ayah kembali muncul. Biasanya ayah akan membawakanku secangkir teh
hangat bila aku sedang duduk menikmati indahnya cahaya rembulan usai shalat
isya.
“Aku
harap semoga ayah baik-baik saja disana, sungguh aku merindukanmu ayah,” Rindu
untuk saling tertawa membuang luka dan selalu menjadi tim yang kompak.
“Jangan
buat ayah bersedih bila kelak terjadi perpisahan antara kita. Ayah ingin agar
kamu tetap slalu tersenyum dan ceria.” Kata ayah menjelang hari
keberangkatanya.
“Apakah
ayah akan lama disana?” tanyaku waktu itu.
“Ayah
hanya sementara disana, lagi pula ayah tidak bisa lama-lama jauh dari kamu dan
ibumu, kamu dan ibumu adalah anugerah terindah yang telah Allah berikan untuk
ayah.” Itulah kata-kata terakhir ayah yang selalu ku ingat. Aku tidak takut
lagi bahwa ayah akan berpaling dari aku dan ibu, seperti ayah Nadia teman
sekolahku yang telah puluhan tahun menelantarkan Nadia dan ibunya.
Lagi-lagi
bulan menampakkan diri. Kali ini wajahnya benar-benar tampak bundar dan
cahayanya nampak lebih benderang. Kebun pisang di samping rumah kini terlihat
indah kekuningan.
“Rasnah,
kamu tidak apa-apa, Nak?” suara ibu memecah hening.
“Ah,
tidak Bu, Rasnah hanya kangen sama ayah saja!”
“Sudahlah,
jangan terlalu banyak berpikir tentang ayahmu,kasihan ayahmu disana, nanti akan
terbebani dengan pikiranmu, ikhlaskan semuanya. kalau waktunya telah tiba,
ayahmu pasti akan kembali berkumpul lagi bersama kita disini.”
Aku
mencoba tersenyum di hadapan ibu, senyum kecil yang kaku. Akupun menyadari
bahwa suka maupun tidak suka, pada manusia atau makluk-makhluk lainya pasti
terjadi perpisahan. Meskipun awalnya sangat berat untuk menerima, namun
akhirnya pun semua akan berjalan seperti biasanya. Ya, seperti kata orang,
waktu akan menyembuhkan segalanya, waktu dan jarak akan mengaburkan kenangan
kita hingga sampai ketitik saat kita tak lagi berpikir tentangnya, mungkin rasa
rindu itu tidak lagi senyeri sekarang.
Aku
kembali menatap kebun pisang, masih tetap berwarna kekuningan. Wajah bulan itu
semakin bulat dan cahayanya semakin kuat bersinar, sungguh indah. Bagiku malam
itu merupakan malam terpenting. Ada pesan yang di tinggalkan untukku sebagai
bekal perjalanan hidup yang lebih jauh.
“Ayo
masuk, Nak. Sudah malam!”
“Iya,
Bu,”jawabku sambil menghapus air mata.
***
Sehabis
shalat subuh, aku menyempatkan membantu ibu di dapur. Lalu segera menuju ke
kebun belakang rumah. Pagi ini aku dan ibu akan panen tomat dan cabe untuk di
pasarkan di pasar tradisional dekat rumah. Di tambah lagi pesanan dari ibu-ibu
tetangga semakin meningkat, jadi harus kerja ekstra. Beruntung juga sekolah
masih libur.
Selesai
sudah pekerjaan memetik tomat dan cabenya, menjelang siang aku dan ibu kembali
ke rumah. Mendadak terasa aneh. Di pelataran rumah ada dua orang laki-laki
sedang berbincang-bincang. Aku dan ibu belum sempat mengenalnya, namun setelah
mendekat barulah aku dan ibu kenal tamu itu. Mereka adalah Om Madir dan Om
Burhan. Teman ayah yang sama-sama satu lokasi kerja.
“Assalamualaikum!”
sapa ibu.
“Wa’alaikumsalam,”
jawabnya serentak.
“Baru
pulang dari kebun ya, Bu Lastri?” Tanya Om Madin memulai percakapan.
“Iya,
Pak. Ada apa ya siang-siang begini?”
Serempak
semuanya diam. Om Madin dan Om Burhan saling bertatapan.
“Duduklah
dulu Bu Lastri, nanti saya akan jelaskan semuanya.”
Aku
mulai curiga. “ada apa, Om?” tanyaku tak sabar.
“Ada
berita dari ayahmu, Nak,”
“Ayah?”
mataku berbinar, kegembiraan mulai muncul. Sesingkat pertanyaan itu pula
semuanya membisu. Suasana menjadi asing. Terlebih pada diriku dan ibu yang kini
semakin kuat mencium kecurigaan.
“Om,
tolong ceritakan tentang ayah, bagaimana kabarnya,apakah ayah baik-baik saja
disana?” mulutku bergetar.
“Nak,
ayahmu baik-baik saja.sebelum Om Madin dan Om Burhan balik kesini, ayahmu
sempat datang ke penginapan Om. Ayahmu sudah jadi mandor disana. Iapun masih
sering menceritakan tentang kamu dan ibumu. Tapi sayang, ayahmu belum bisa
pulang untuk bertemu dengan kalian, walaupun Om sempat mengajaknya.”
“Kenapa,
Om? Tidak rindukah ayah padaku dan ibu?” aku semakin penasaran.
Om
Burhan mencoba menahan perasaannya. “Bu Lastri, Rasnah. Maafkan saya karena
terpaksa harus menyampaikan berita ini, sebenarnya, ayahmu telah menikah lagi
disana dan telah di anugerahi seorang anak pula.”
Bagai
disambar petir, hatiku hancur. Seluruh tubuhku bergetar. Mau remuk rasanya.
Bibirku terlalu kaku untuk menjawab tidak percaya. Sekarang bayangan tentang
ayah menjadi sangat gelap dan pudar.
“Ibu!!!!”
aku menjerit. Air mataku mengalir deras. Ibu mendekapku erat penuh kasih sayang.
Air matanyapun tumpah sejadi-jadinya.
“Ayah….”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar