Masalah
keadilan kadangkala belum mampu dipahami oleh sebagian manusia. Akan tetapi bagi
orang-orang yang senantiasa giat berfikir dan bertanya, tentunya bukanlah
sebuah teka-teki atau rahasia semata. Melainkan cahaya yang keluar dari goa
kegelapan.
Sebuah
pertanyaan pernah dilontarkan oleh seorang teman “ apakah dapat disebut
keadilan ketika seseorang menimbang seember pasir dengan seember air?” melihat
pertanyaan ini tentu kita akan berfikir bahwa air dengan pasir yang ditaruh
kedalam ember yang besarnya sama tentunya itu bukanlah sebuah keadilan, sebab
berat diantara keduanya tidaklah sama. Jadi, sangatlah tidak masuk akal apabila
keadilan itu dipahami sebagai sesuatu yang sama beratnya
Dalam
diskursus kajian akal manusia, definisi keadilan kadangkala bermacam-macam dan
berfariasi sesuai dengan jalur pemahaman dan pengalaman dari manusia itu
sendiri. Ketika seorang pemimpin yang sewenang-wenang terhadap bawahanya, dia bisa
dikatakan tidak adil, wasit yang curang dalam memimpin sebuah pertandingan
bola, juga dikatakan tidak adil. Keadilan singkatnya adalah sesuatu yang tidak
berkenaan dengan hati nurani.
Dalam
masalah pembagian harta warisan, antara laki-laki dan perempuan pun tidak sama
jumlahnya. Apakah ini dikatakan sebuah ketidakadilan? Padahal pembagian ini
merupakan sebuah intruksi langsung dari Tuhan. Kemudian dalam kasus menjadi
seorang pemimpin, kenapa lebih banyak yang mengencam perempuan untuk menjadi
pemimpin? Padahal kalau dilihat dari fitrahnya, antara laki-laki dan perempuan punya hak sama (kesamaan
gender) untuk menjadi pemimpin. Banyak lagi kasus yang menggambarkan
ketidakadilan itu menurut konsep nalar manusia.
Dari
uraian di atas, kita diberi gambaran bagaimana memahami makna dan hakikat
keadilan. Ketika tabir keadilan tersingkap, perasaan damai akan menyelimuti
kegundahan hati yang selalu dirundung pertanyaan walaupun akal selalu berontak
untuk bertanya kemudian. Tetapi setidaknya saya ingin mengkaji sedikit tentang
teka-teki keadilan itu sendiri.
Definisi
keadilan dalam konteks yang ideal adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Dalam arti, kita berusaha mencocokkan segala sesuatunya menurut ukuran dan
nilai yang memang menjadi haknya. Timbangan atau neraca tentang dua buah benda
yang berbeda namun beratnya sama, itu belum bisa dikatakan adil karena boleh
jadi jumlah atau nilainya tidaklah sama. Akan tetapi dua buah benda yang
berbeda namun ditempatkan pada wadah yang berbeda pula, itulah keadilan karena
antara keduanya memang pantas untuk ditempatkan pada wadahnya masing-masing.
Mungkin
untuk lebih jelasnya, saya akan memberikan sebuah contoh, seorang laki-laki dan
perempuan mendapat harta warisan dari orangtuanya berupa uang sebesar
15.000.000,- rupiah. Dalam pembagian itu laki-laki mendapat sepuluh juta
rupiah, kemudian yang perempuan sebesar lima juta rupiah. Lalu si perempuan
memprotes, katanya tidak adil, padahalkan antara dia dan saudaranya yang
laki-laki sama-sama anak kandung dari orang tua mereka. Kenapa bisa tidak sama
pembagianya?
Kasus tersebut sekiranya kita hanya
melihat dari segi nilai uangnya saja, tentu tidak adil. Tetapi kebenaran dan
hak mengatakan lain. Si perempuan mendapat lima jutah rupiah dan si laki-laki
mendapat sepuluh juta rupiah itu merupakan keadilan karena posisinya memang pas
pada tempatnya. Kenapa?
Dalam
menarik sebuah kesimpulan kita tidak bisa menilai hanya sebatas pada pembagian
harta warisan semata. Akan tetapi, perlu juga kita kaitkan dengan masalah tanggung
jawab masing-masing dengan masalah-masalah lain yang ada hubungannya dengan
uang itu.
Intinya,
suatu saat nanti si laki-laki dan perempuan ini tentunya akan berumah tangga.
Si laki-laki berhak membawa mahar untuk calon istrinya, uang yang sepuluh juta
tadi sebagiannya merupakan hak untuk calon istrinya kelak. Begitu juga dengan
si perempuan, dia tidak berkewajiban membawa mahar, akan tetapi dia menerima mahar
yang akan dibawakan oleh calon suaminya.
Uang
yang sebesar lima juta rupiah itu merupakan miliknya. Mahar yang dibawakan oleh
calon suaminya, misalnya sebesar lima juta rupiah juga kelak akan menjadi miliknya juga. Jadi genaplah sudah
menjadi sepuluh juta rupiah. Itulah gambaran keadilan, sebuah contoh yang
mungkin belum tentu mampu meyakinkan kita.
Akan
tetapi, jika perlu saya akan menggambarkan satu contoh lagi. Dua orang anak
disuruh oleh orang tuanya mencari kayu bakar di hutan. Anak laki-laki tentunya
akan mengikat dua ikat dan perempuan satu ikat, apakah ini sebuah
ketidakadilan? Tidak, itu sudah merupakan sebuah bentuk keadilan. Karena yang
laki-laki memang sudah kodratnya untuk memikul dua ikat, begitu pun dengan si
perempuan. Karena memang pada dasarnya keadilan itu ialah menempatkan sesuatu
pada tempatnya sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh hukum Tuhan.
Dalam
kasus serupa, antara laki-laki dan perempuan memiliki tugas dan tanggung jawab
masing-masing menurut kodratnya dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Laki-laki (suami) adalah bertugas di luar rumah mencari nafkah, dan perempuan
(istri) bertugas mengurus anak-anak dan urusan dapur. Sebaliknya juga, bisa
bahwa laki-laki bertugas di rumah dan perempuan di luar rumah, tetapi ini
lagi-lagi melanggar kodrat yang telah di gariskan.
Proses
yang terjadi di alam semesta ini penuh dengan drama keadilan. Terjadinya siang
dan malam, hidup dan mati, kanan dan kiri, atas dan bawah, surga dan neraka
serta pahala dan dosa dan lain sebagainya. Tanpa ada keadilan seperti itu makna
hidup tidak akan berarti dan mungkin juga keseimbangan hidup tidak akan
terjadi.
Dalam
berbagai teks kitab suci masing-masing agama, tentunya para penganutnya sudah
mengetahui bahwa Tuhan itu Maha adil. Ada pun segala sesuatu yang menurut
anggapan manusia tidak adil, itu semua merupakan keadilan, hanya saja kita
belum mampu memahami objek keadilanya.
Apakah
adil orang-orang yang berdosa ditempatkan di neraka dan orang-orang yang
beramal shaleh di tempatkan di syurga? Untuk pertanyaan ini tentu kita sepakat
bahwa itu adil. Nah, ketika syurga dan neraka di hadapkan pada sebuah problem,
misalkan diantara keduanya tidak ada yang menempati, apakah itu juga sebuah
keadilan? Atau mungkin orang yang banyak dosanya ditempatkan di syurga, apakah
itu adil?
Dalam
hal ini, mungkin kita takut untuk menjawabnya, sebab kalau kita mengatakan
“tidak” berarti kita sudah berani mengatakan bahwa Tuhan tidak adil. Sekiranya
kita mengatakan “iya, adil” secara tidak disadari kita sudah mengikhlaskan
seseorang untuk melakukan dosa. Atau bahkan secara tidak langsung kita
mengatakan bahwa Tuhan telah ingkar janji. Apakah Tuhan sehina itu? Saya harap
kita berusaha berprasangka baik kepada Tuhan. Bagaimana pun Tuhan itu Maha
Suci, adil dan Maha menempati janji.
Syurga
dan neraka.
Tuhan
yang Maha adil telah menciptakan dua tempat akhir bagi manusia yaitu syurga dan
neraka. Dalam hal ini syurga adalah teruntuk manusia yang beramal shaleh,
sementara neraka adalah teruntuk manusia yang melanggar perintah Tuhan.
Perlu kita hayati juga Tuhan
menciptakan syurga untuk orang yang baik itu semata-mata karena karunian-Nya.
Dan ketika Tuhan menciptakan neraka untuk orang yang berdosa, apakah itu bukan
karunia-Nya? Karunia merupakan segala sesuatu yang telah ditentukan sendiri
oleh Tuhan, terlepas apakah itu baik dan atau tidak baik menurut anggapan
manusia.
Tapi yang pasti, segala sesuatu yang
telah digariskan oleh Tuhan itu adalah Rahmat. Ketika diajukan sebuah
pertanyaan kepada manusia “Apakah ada manusia yang ingin masuk neraka?”
jawabanya kemungkinan rata-rata tidak ada yang mau masuk neraka. Tetapi realita
yang terjadi , begitu banyak orang-orang yang mengejar neraka tersebut.
Dan ketika kita mengajukan
pertanyaan lagi “ Siapa yang mau masuk surga?” mungkin pertanyaan ini akan
direspon bahwa semua orang mau masuk surga. Buktinya, banyak orang-orang yang
berlomba-lomba melakukan amal kebaikan sebagai bekal untuk ke surga.
Kemudian satu lagi pertanyaan,
“ketika surga atau neraka tidak ada yang terisi oleh manusia sedikit pun,
apakah ini suatu bentuk keadilan? Atau mungkin orang berdosa di tempatkan di
surga dan orang baik ditempatkan di neraka, apakah ini pantas kita namakan adil?”
Membaca sebuah kisah tentang seorang
wanita pelacur yang sepanjang hidupnya bergelimangan dengan kemaksiatan. Namun
diakhir hayatnya wanita itu pernah menolong memberikan minum anjing yang
kelaparan, kemudian akhirnya wanita itu dikabarkan akan masuk surga. Dari kisah
ini, mana yang lebih lama perbuatan baiknya ataukah perbuatan maksiatnya?
Kemudian satu kisah lagi, seorang
ahli ibadah yang sepanjang hidupnya sibuk dengan amalan kebaikan, namun diakhir
hayatnya ia dikabarkan masuk neraka karena dia tidak memperdulikan tetangganya
yang kelaparan. Lagi-lagi mana yang lebih panjang usianya ia dalam mengamalkan
kebaikan dan kelalaian?
Dua contoh kisah yang patut kita
hayati dan kita renungkan, ternyata tidak selamanya orang baik itu masuk surga
dan orang jahat itu ditempatkan di neraka. Kenapa demikian? Itulah keadilan
Yang Maha adil. Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Siapa yang berhak
menempatkan? Dialah Tuhan yang Maha kuasa, Maha berkehendak dan Maha penentu
segala-galanya.
Yang membuat manusia itu menempati
surga atau neraka itu adalah mereka sendiri. Tuhan hanya memberikan pilihan.
Kebaikan dan keburukan adalah pilihan yang harus di pilih masing-masing
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar