Oleh
: Irna Izzyatin
Di awal musim kemerau itu, ibu duduk
di tepi jendela menyaksikan daun-daun lepas dari tangkainya. Daun-daun yang
telah berubah warna, kuning, merah, dan tembaga itu mendarat di atas rumput
yang mengerut kedinginan. Bumi telah habis kehangatanya, sebentar lagi
pohon-pohon itu akan kesepian ditinggalkan daun-daun . Angin yang menderu-deru
bersekutu dengan angkasa yang buram tak bercahaya. Ku lihat dua titik air
bening di kedua sudut matanya,
Apakah ibu sedih?” tanyaku. Ia
membawa telapak tanganku ke pipinya yang basah dan hangat oleh air mata.
“Ibu
hanya rindu pada kakakmu, rindu yang sudah berulang-ulang ibu utarakan padamu, tidakkah kamu bosa anakku?” Aku menggeleng. Aku senang, ibu
bahagia saat menceritakannya. Ibu rindu pada kedua kakakku yang hampir tiga
tahun meninggalkanya.
“Anakku, kelak setelah pagi berganti
senja, engkaupun akan menyusul kedua kakakmu, meninggalkan ibu berkawan sepi
disini.” Tak terasa air mataku meleleh mendengar ucapanya, rasanya terlalu
berat untuk meninggalkan ibu sendirian disini. Tetapi apa boleh buat, nun jauh
disana, di dekat sinar sang surya, terletak impian-impianku yang tertinggi,
meskipun tidak semuanya bisa kuraih, tetapi setidaknya aku bisa mendongak dan melihat
keindahanya, mempercayainya dan mencoba mengikutinya.
Aku mengamati sosok tua itu,
jari-jarinya sudah terlalu kaku untuk memegang jarum lagi. Namun bukanya
menyerah pada kelemahanya, ia malah menyuruhku meninggalkanya, menyusul kedua
kakakku di negeri impian. Ibu ingin anak-anaknya menjadi orang-orang yang
sukses. Ia ingin agar kami merasa dicinta dan dihargai, tidak hanya olehnya,
tetapi oleh seluruh dunia. Setiap kali aku memandang raut wajahnya, terus
membuatku lebih mensyukuri tentang arti sebuah cinta, ibu yang telah membawaku
melihat matahari di langit kehidupanku. Sinarnya menerangi seluruh dinding jiwa
hingga membuatku tidak pernah bosan untuk meraih dan merengkuh kehangatanya.
Mata beningnya menjernihkan hati ketika aku menatapnya, mengingatkan hatiku
kembali pada satu cinta tiada dua, cinta yang membuat segalanya menjadi
bercahaya.
Ibu
memperhatikan bagaimana kami anak-anaknya bisa menghargai diri kami sendiri. Ia
menanamkan pada kami rasa takjub atas keberadaan kami di dalam dunia, dan dia
memberikan pada kami kemampuan untuk melihat keindahan bahkan di tengah-tengah
kesengsaraan. Tak pernah ada habisnya aku mengaggumi semangat hidup dan
kemauanya yang keras untuk maju. Sudah sejak lama setelah ayah meninggalkan
kami untuk selama-lamanya, ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Letih dan
lelah sudah menjadi s arapanya
sehari-hari, namun tetap tak pernah ada keluhan yang keluar dari bibirnya, ibu
selalu tersenyum penuh cinta.
***
Pagi
belum sempurna membuka diri, ku lihat ibu sudah sibuk mempersiapkan barang
bawaanku. Dengan perasaan tak menentu, aku mendekatinya.
“Apakah
ibu yakin membiarkanku pergi?” tanyaku penuh selidik.
“Jauh
hari sebelum kamu dilahirkan, ibu sudah siap untuk melepaskanmu. Tak ada alasan
menahanmu untuk mengejar impian. Harusnya, kamu yakinkan dulu dirimu sendiri
dan yang lainpun akan mengikuti.” Ucapnya dengan bijak .
Kebersamaan
dengan ibu hampir habis, ibu mengantarku
sampai di tempat pengambilan bus. Seperti membaca pikiranku, ibu menepuk
pundakku dan berkata” semua akan baik-baik saja anakku, ibu akan selalu
menunggumu di sini” ucapnya parau seakan menahan tangis. Kutatap kedua bola
mata beningnya, di sana ada sejuta cinta yang selalu kudapatkan. Aku memeluknya
erat tanpa mampu berkata apa-apa lagi. Aku tak bisa lagi menahan tangisku,
dengan penuh kelembutan ibu menghapus airmataku. “Tersenyumlah anakku,
senyumlah selalu pada hidup, pada bumi
pada langit. Senyumlah selalu dan kamu akan mendapatkan sesuatu.” katanya
seraya menatap langit dan tersenyum.
Lebih
kurang lima belas menit bus yang ditunggu pun datang. Kucium telapak tangan ibu
untuk terakhir kalinya. Aku melangkah tanpa mampu menoleh sedikitpun. Aku
takut, aku akan goyah dengan keputusanku, meninggalkan ibu amatlah berat
bagiku.
Perkataaan
Kate Douglas Wiggen kembali terngiang-ngiang di kepalaku.
“Kebanyakan hal indah dalam kehidupan muncul
berdua atau bertiga, belasan atau ratusan. Banyak sekali bunga,bintang senja,
pelangi, saudara dan saudari, tante,paman, dan sepupu tetapi hanya ada satu mama
di seluruh dunia”
“Ibu, Tunggu aku pulang membawa sejuta impian
kita. Doakan aku berhasil!”.
S
E L E S A I
great!!!!!
BalasHapussemangat berkarya kak,,,jadi ingat sama ma2 d kampung..