.

Selasa, 03 Juli 2012

AKAR SEBUAH CINTA


                                                     
                                                                Oleh : Irna Izzyatin
           
            Di awal musim kemerau itu, ibu duduk di tepi jendela menyaksikan daun-daun lepas dari tangkainya. Daun-daun yang telah berubah warna, kuning, merah, dan tembaga itu mendarat di atas rumput yang mengerut kedinginan. Bumi telah habis kehangatanya, sebentar lagi pohon-pohon itu akan kesepian ditinggalkan daun-daun . Angin yang menderu-deru bersekutu dengan angkasa yang buram tak bercahaya. Ku lihat dua titik air bening di kedua sudut matanya,
            Apakah ibu sedih?” tanyaku. Ia membawa telapak tanganku ke pipinya yang basah dan hangat oleh air mata.
“Ibu hanya rindu pada kakakmu, rindu yang sudah berulang-ulang ibu utarakan padamu,    tidakkah kamu bosa  anakku?” Aku menggeleng. Aku senang, ibu bahagia saat menceritakannya. Ibu rindu pada kedua kakakku yang hampir tiga tahun meninggalkanya.
            “Anakku, kelak setelah pagi berganti senja, engkaupun akan menyusul kedua kakakmu, meninggalkan ibu berkawan sepi disini.” Tak terasa air mataku meleleh mendengar ucapanya, rasanya terlalu berat untuk meninggalkan ibu sendirian disini. Tetapi apa boleh buat, nun jauh disana, di dekat sinar sang surya, terletak impian-impianku yang tertinggi, meskipun tidak semuanya bisa kuraih, tetapi setidaknya aku bisa mendongak dan melihat keindahanya, mempercayainya dan mencoba mengikutinya.
            Aku mengamati sosok tua itu, jari-jarinya sudah terlalu kaku untuk memegang jarum lagi. Namun bukanya menyerah pada kelemahanya, ia malah menyuruhku meninggalkanya, menyusul kedua kakakku di negeri impian. Ibu ingin anak-anaknya menjadi orang-orang yang sukses. Ia ingin agar kami merasa dicinta dan dihargai, tidak hanya olehnya, tetapi oleh seluruh dunia. Setiap kali aku memandang raut wajahnya, terus membuatku lebih mensyukuri tentang arti sebuah cinta, ibu yang telah membawaku melihat matahari di langit kehidupanku. Sinarnya menerangi seluruh dinding jiwa hingga membuatku tidak pernah bosan untuk meraih dan merengkuh kehangatanya. Mata beningnya menjernihkan hati ketika aku menatapnya, mengingatkan hatiku kembali pada satu cinta tiada dua, cinta yang membuat segalanya menjadi bercahaya.
Ibu memperhatikan bagaimana kami anak-anaknya bisa menghargai diri kami sendiri. Ia menanamkan pada kami rasa takjub atas keberadaan kami di dalam dunia, dan dia memberikan pada kami kemampuan untuk melihat keindahan bahkan di tengah-tengah kesengsaraan. Tak pernah ada habisnya aku mengaggumi semangat hidup dan kemauanya yang keras untuk maju. Sudah sejak lama setelah ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya, ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Letih dan lelah sudah menjadi s       arapanya sehari-hari, namun tetap tak pernah ada keluhan yang keluar dari bibirnya, ibu selalu tersenyum penuh cinta.
                                                            ***
Pagi belum sempurna membuka diri, ku lihat ibu sudah sibuk mempersiapkan barang bawaanku. Dengan perasaan tak menentu, aku mendekatinya.
“Apakah ibu yakin membiarkanku pergi?” tanyaku penuh selidik.
“Jauh hari sebelum kamu dilahirkan, ibu sudah siap untuk melepaskanmu. Tak ada alasan menahanmu untuk mengejar impian. Harusnya, kamu yakinkan dulu dirimu sendiri dan yang lainpun akan mengikuti.” Ucapnya dengan bijak .
Kebersamaan dengan ibu hampir habis,  ibu mengantarku sampai di tempat pengambilan bus. Seperti membaca pikiranku, ibu menepuk pundakku dan berkata”  semua akan  baik-baik saja anakku, ibu akan selalu menunggumu di sini” ucapnya parau seakan menahan tangis. Kutatap kedua bola mata beningnya, di sana ada sejuta cinta yang selalu kudapatkan. Aku memeluknya erat tanpa mampu berkata apa-apa lagi. Aku tak bisa lagi menahan tangisku, dengan penuh kelembutan ibu menghapus airmataku. “Tersenyumlah anakku, senyumlah selalu pada  hidup, pada bumi pada langit. Senyumlah selalu dan kamu akan mendapatkan sesuatu.” katanya seraya menatap langit dan tersenyum.
Lebih kurang lima belas menit bus yang ditunggu pun datang. Kucium telapak tangan ibu untuk terakhir kalinya. Aku melangkah tanpa mampu menoleh sedikitpun. Aku takut, aku akan goyah dengan keputusanku, meninggalkan ibu amatlah berat bagiku.
Perkataaan Kate Douglas Wiggen kembali terngiang-ngiang di kepalaku.
Kebanyakan hal indah dalam kehidupan muncul berdua atau bertiga, belasan atau ratusan. Banyak sekali bunga,bintang senja, pelangi, saudara dan saudari, tante,paman, dan sepupu tetapi hanya ada satu mama di seluruh dunia”
 “Ibu, Tunggu aku pulang membawa sejuta impian kita. Doakan aku berhasil!”.
                                   
S E L E S A I

1 komentar: