Aku teringat lagunya Iwan Fals
tentng Guru Umar Bakri, yang rajin pangkal miskin karena gajinya dikebiri.
Namun saat ini ketika anggaran pendidikan 20% lebih sepertinya tidak ada lagi
guru Umar Bakri. Sertifikasi, remunisasi, inpasing dan sejenisnya menciptakan
Umar Bakri yang berlimpah rupiah, malas pangkal kaya dan hemat pangkal kikir
yang menghitung hari dan tanggal "Kapan uang sertifikasi masuk rekening?"
Tapi ini kisah temanku, seorang
guru sukarela yang tidak rela disebut demikian. Hanya karena diploma 2 dia
menjadi guru. tak ada sertifikasi, remunisasi atau inpasing. hanya tiga lembar
rupiah merah bergambar Sukarno yang ia terima, itupun 3 bulan sekali.
Guru Syahbuddin itu guru, dia
juga buruh, buruh tani, buruh pasir, tukang batu dan terkadang tukang kayu.
tapi dia bahagia, bahagia atas keringat ketulusan dan kejujurannya. Bukan uang
negara tapi dia adalah guru yang mencerdaskan anak-anak negara tetapi tidak diperhitungkan
oleh negara.
Hari ini pun dia guru, senin,
rabu dan jumat dia adalah guru. selasa, kamis dan sabtu dia adalah buruh. dan
minggunya dia adalah ayah dari anak dan istrinya. Aku pernah bertanya padanya
"anda siapa guru?". Dia menjawab "aku hanyalah seorang lelaki
yang ingin jujur dan apa adanya". aku terkesima mendengarnya.
Bagiku dia tidak hanya seorang
guru bagi anak-anak didiknya. bukan pula buruh bagi mandor-mandornya tapi jauh
di atas itu. guru kehidupan yang mengajarkan bagaimana untuk tidak menjadi manusia cengeng
yang selalu berteriak "mau makan apa kita besok?"
Dia adalah kawan, guru dan
sekaligus inspirasiku tentang bagaimana menatap kehidupan. hidup bukan untuk
disesali tetapi hidup untuk dijalani. pahit manisnya adalah bingkisan kado dari
Tuhan untuk kita yang menghargai keputusan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar