Rasulullah
saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan
tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu
Hibban)
Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan
dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan
urusan-urusan seperti itu. Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa
yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman
Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan
amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara
manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)
Ayat di atas menegaskan bahwa amanah tidak melulu menyangkut
urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Kata-kata adalah amanah.
Menunaikan hak Allah adalah amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik
adalah amanah. Ini diperkuat dengan perintah-Nya: “Dan apabila kalian
menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan
adil.” Dan keadilan dalam hukum itu merupakan salah satu amanah besar.
Dan Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami menawarkan
amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan
khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72)
Dari nash-nash Al-Qur’an dan sunnah di atas nyatalah bahwa
amanah tidak hanya terkait dengan harta dan titipan benda belaka. Amanah adalah
urusan besar yang seluruh semesta menolaknya dan hanya manusialah yang
diberikan kesiapan untuk menerima dan memikulnya. Jika demikian, pastilah
amanah adalah urusan yang terkait dengan jiwa dan akal. Amanah besar yang dapat
kita rasakan dari ayat di atas adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan
menunaikannya sebagaimana mestinya.
Amanah dan Iman
Amanah
adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda
Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada
iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang
tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)
Barang siapa yang hatinya kehilangan
sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan
siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan
orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw.
sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah
–semoga Allah meridhainya–, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan
maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu
disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan
diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.”
(Al-Bukhari)
Macam-macam Amanah
Pertama,
amanah fitrah. Dalam fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia
senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah
selaras betul dengan aturan Allah yang berlaku di alam semesta. Allah swt.
berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul,
(Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172)
Akan
tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada
dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa
nafsu dan penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus
memperjuangkan amanah fitrah tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi
kekuatan dalam menegakkan kebenaran.
Kedua,
amanah taklif syar’i (amanah yang diembankan oleh syari’at). Allah swt. telah
menjadikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang
kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan
fara-idh (kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian mengabaikannya;
menentukan batasan-batasan (hukum), maka janganlah kalian melanggarnya; dan
mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena
lupa.” (hadits shahih)
Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan
Islam. Setiap muslim mendapat amanah untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran
Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang
menggariskan sunnah yang baik maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala
orang-orang rang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (Hadits
shahih)
Keempat,
amanah dakwah. Selain melaksanakan ajaran Islam, seorang muslim memikul amanah
untuk mendakwahkan (menyeru) manusia kepada Islam itu. Seorang muslim bukanlah
orang yang merasa puas dengan keshalihan dirinya sendiri. Ia akan terus
berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia. Amanah ini
tertuang dalam ayat-Nya: “Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat
yang baik.” (An-Nahl: 125)
Rasulullah
saw. juga bersabda, “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan
usaha Anda, maka hal itu pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan dengan dunia
dan segala isinya.” (al-hadits)
Kelima,
amanah untuk mengukuhkan kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia
tunduk hanya kepada Allah swt. dalam segala aspek kehidupannya. Tentang amanah
yang satu ini, Allah swt. menegaskan: “Allah telah mensyariatkan bagi kamu
tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan
Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.”
(Asy-Syura: 13)
Keenam,
amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama). Untuk dapat menunaikan
kewajiban, seorang muslim haruslah memahami Islam. “Tidaklah sepatutnya bagi
orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar