Seorang
penumpang Bus Wawo Jaya telah setahun lebih menjadi langganan tetap bus itu.
Tiap-tiap hari ia harus ke Bima bolak balik untuk berkerja.
Ia
berkomentar demikian kepada saya :
“Di
toko tempat saya berkerja terdapat pelanggan-pelanggan
yang tetap juga, tetapi saya tidak banyak melihat mereka bercakap-cakap maupun
memperdulikan satu terhadap yang lainya. Mereka seolah-olah makhluk yang asing,
bahkan sesama teman satu kampung. Mereka saling memperlakukan diri dengan kakunya
atau dengan basa-basinya. Tidak sebagai manusia sosial, tetapi sebagai bagian
dari kelompok orang-orang asing”.
Itulah
salah satu gambaran masyarakat kita yang mulai
menjadi masyarakat yang kesepian. Tidak ragu lagi bahwa kesepian adalah masalah
pokok dari manusia, malahan merupakan masalah yang tidak terhindarkan. Kesepian
telah menjadi bagian dari kehidupan yang telah dipacu oleh
perkembangan-perkembangan dunia modern itu sendiri.
Hal
apa dari masyarakat modern yang sesungguhnya telah memacu keadaan ini?
Pada
umumnya ahli-ahli menunjukkan bahwa revolusi industri (disamping revolusi
demokrasi) telah mengubah cara kerja dan cara pandang manusia banyak.
Pekerja-pekerja harus meninggalkan keluarganya sendiri, juga kota kelahirannya
sendiri, urbanisasi ke sana, pindah ke sini. Semuanya dimaksud agar orang dekat
dengan pekerjaannya (yang baru).
Di
Amerika misalnya, masyarakatnya begitu mobil (sering berpindah-pindah) sehingga
hampir-hampir mereka disebut sebagai masyarakat
nomad. Di tahun 1972 saja tercatat rata-rata seorang warga Amerika
berpindah 14 kali dalam hidupnya dan 40 juta warganya berpindah alamat paling
sedikit setahun sekali.
Perubahan
dramatis ini membawa perubahan-perubahan besar dalam pola berteman, dalam
keluarga, bahkan dalam setiap interaksi manusiawi. Orang hanya tahu sedikit
kehidupan teman atau tetangga barunya. Latar belakang mereka berbeda sehingga
tidak bisa menjiwai persoalan orang yang satu terhadap yang lainya. Front-front
pikiran dan perkembangan begitu banyak dan ruwet, sehingga orang tidak mungkin
mencapai semua kesepakatan dalam semua front.
Zaman
dahulu, orang menghabiskan hidupnya di desa di mana mereka dilahirkan. Sering
hidup dalam rumah yang sama, atau tinggal di desa itu untuk seluruh hidupnya.
Setiap manusia desa itu mengenal manusia yang lainya. Tatkala seseorang
menghadapi persoalan, maka teman dan tetangganya hampir serentak mengetahuinya.
Dalam kehidupan yang sederhana, orang-orang mempunyai banyak kesepakatan
psikologis dan tindakan. Namun zaman itu telah berlalu. Zaman sekarang, setiap
waktu orang dibombardir dengan unsur-unsur asing yang bukan main banyak jumlah
dan ragamnya. Akibatnya, orang merasa kurang yakin, kurang orientasi, bingung,
depresi, masabodo, acuh tak acuh, atau malahan menyendiri. Dan ini menyebabkan
halangan-halangan baru dalam komune (masyarakat) manusia.
Perasaan
masabodo dan acuh tak acuh ini sesungguhnya adalah suatu bentuk efisiensi hidup
di tempat yang super complex, yang memang diperlukan untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya (survival element). Sayangnya perasaan ini pada waktu
yang sama juga membentuk perasaan kesepian, hampa, terisolasi, dan terbuang
dari masyarakatnya.
Dunia menjadi tempat
yang semakin banyak penghuninya, tetapi
serentak itu juga menjadi tempat yang makin miskin persahabatan dan miskin kebersamaan.
Makassar,
8 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar