.

Kamis, 21 Maret 2013

DUNIA SEKARANG BERBEDA WAJAH (bagian 1)


Seorang penumpang Bus Wawo Jaya telah setahun lebih menjadi langganan tetap bus itu. Tiap-tiap hari ia harus ke Bima bolak balik untuk berkerja.
Ia berkomentar demikian kepada saya :
“Di toko tempat saya berkerja  terdapat pelanggan-pelanggan yang tetap juga, tetapi saya tidak banyak melihat mereka bercakap-cakap maupun memperdulikan satu terhadap yang lainya. Mereka seolah-olah makhluk yang asing, bahkan sesama teman satu kampung. Mereka saling memperlakukan diri dengan kakunya atau dengan basa-basinya. Tidak sebagai manusia sosial, tetapi sebagai bagian dari kelompok orang-orang asing”.
Itulah salah satu gambaran masyarakat kita yang mulai menjadi masyarakat yang kesepian. Tidak ragu lagi bahwa kesepian adalah masalah pokok dari manusia, malahan merupakan masalah yang tidak terhindarkan. Kesepian telah menjadi bagian dari kehidupan yang telah dipacu oleh perkembangan-perkembangan dunia modern itu sendiri.
Hal apa dari masyarakat modern yang sesungguhnya telah memacu keadaan ini?
Pada umumnya ahli-ahli menunjukkan bahwa revolusi industri (disamping revolusi demokrasi) telah mengubah cara kerja dan cara pandang manusia banyak. Pekerja-pekerja harus meninggalkan keluarganya sendiri, juga kota kelahirannya sendiri, urbanisasi ke sana, pindah ke sini. Semuanya dimaksud agar orang dekat dengan pekerjaannya (yang baru).
Di Amerika misalnya, masyarakatnya begitu mobil (sering berpindah-pindah) sehingga hampir-hampir mereka disebut sebagai masyarakat nomad. Di tahun 1972 saja tercatat rata-rata seorang warga Amerika berpindah 14 kali dalam hidupnya dan 40 juta warganya berpindah alamat paling sedikit setahun sekali.
Perubahan dramatis ini membawa perubahan-perubahan besar dalam pola berteman, dalam keluarga, bahkan dalam setiap interaksi manusiawi. Orang hanya tahu sedikit kehidupan teman atau tetangga barunya. Latar belakang mereka berbeda sehingga tidak bisa menjiwai persoalan orang yang satu terhadap yang lainya. Front-front pikiran dan perkembangan begitu banyak dan ruwet, sehingga orang tidak mungkin mencapai semua kesepakatan dalam semua front.
Zaman dahulu, orang menghabiskan hidupnya di desa di mana mereka dilahirkan. Sering hidup dalam rumah yang sama, atau tinggal di desa itu untuk seluruh hidupnya. Setiap manusia desa itu mengenal manusia yang lainya. Tatkala seseorang menghadapi persoalan, maka teman dan tetangganya hampir serentak mengetahuinya. Dalam kehidupan yang sederhana, orang-orang mempunyai banyak kesepakatan psikologis dan tindakan. Namun zaman itu telah berlalu. Zaman sekarang, setiap waktu orang dibombardir dengan unsur-unsur asing yang bukan main banyak jumlah dan ragamnya. Akibatnya, orang merasa kurang yakin, kurang orientasi, bingung, depresi, masabodo, acuh tak acuh, atau malahan menyendiri. Dan ini menyebabkan halangan-halangan baru dalam komune (masyarakat) manusia.
Perasaan masabodo dan acuh tak acuh ini sesungguhnya adalah suatu bentuk efisiensi hidup di tempat yang super complex, yang memang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (survival element). Sayangnya perasaan ini pada waktu yang sama juga membentuk perasaan kesepian, hampa, terisolasi, dan terbuang dari masyarakatnya.
Dunia menjadi tempat yang semakin  banyak penghuninya, tetapi serentak itu juga menjadi tempat yang makin miskin persahabatan dan miskin  kebersamaan.
                                                                                    Makassar, 8 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar